#30HBC2003: Kerjaan Sesuai dengan Mimpi, Tapi Kok Gak Hepi?

Di hari ketiga #30HariBercerita ini, saya ingin menceritakan mengenai pekerjaan pertama setelah resmi lulus (wisuda) dari kampus. Tidak mudah ternyata ya yang namanya mencari pekerjaan itu. Dari sekian ratus lamaran yang saya buat melalui situs pencarian kerja, hanya lima yang dipanggil untuk mengikuti serangkaian tes masuk. Ada yang cuma sampai psikotes pertama, bahkan ada yang sudah sampai pada tahap wawancara dengan user tapi gak ada kelanjutan. Semua proses itu sudah pernah saya alami. Hingga pada akhirnya, saat saya sedang mengisi waktu sebagai pekerja paruh waktu di kampus, ada seorang HR dari salah satu majalah fashion kelas atas yang menghubungi saya via LinkedIn. Saya sempat gak percaya kalau media cetak yang cukup ternama ini menawarkan posisi sebagai seorang penulis di situ. "Gue kan fresh graduate yang pengalaman di bidang menulisnya masih sedikit," gumam saya dalam hati kala itu. Ya, rasa kurang percaya diri masih membayangi saya saat itu. Namun, keinginan menjadi seorang penulis membuka semangat saya untuk mencoba penawaran tersebut.

Saya pun mengikuti serangkaian tesnya. Hanya membuat sebuah artikel dengan beberapa ketentuan panjang tulisan, tema yang diminta, dan dibuat dalam Bahasa Inggris. Iya, majalah yang menawarkan posisi penulis ini adalah majalah dalam Bahasa Inggris. Sekilas info saja, grammar Bahasa Inggris saya buruk dan minim sekali penguasaan kosa-katanya. Namun, lagi-lagi, berkat keinginan jadi seorang penulis, saya beranikan saja membuat tulisan dalam Bahasa Inggris seadanya. "Ya, kalau lanjut syukur, nggak yaudalah." Nothing to lose aja bawaannya.

Tak disangka-sangka, saya dihubungi oleh HR untuk melakukan wawancara. Saat datang, saya sudah antisipasi bakal diwawancara dalam Bahasa Inggris. Saya pun sudah melakukan beberapa persiapan. Namun, yaa namanya juga gugup ya. Jadi, beberapa jawaban saya kurang lancar. Lalu, setelah bertemu dengan user saya yang adalah Editor In Chief di majalah tersebut dan beliau seorang asing berkewarganegaraan Inggris. Sehabis menyelesaikan serangkaian tes, saya pun kembali ke kampus. Kagetnya saya saat itu, gak lama setelah sampai di kampus, kurang lebih saat makan siang, HR-nya menelepon saya dan mengabarkan kalau saya keterima dan diminta untuk memberikan penawaran serta ditanya kapan bisa mulai bekerja. Hebat ya, berawal dari gak berharap akhirnya keterima gitu aja.

Saat itu saya pikir mungkin ini rezeki yang Tuhan kasih: pekerjaan idaman dan didapatnya gak begitu lama setelah lulus. Namun, gambaran pekerjaan seorang jurnalis majalah fashion yang sering saya lihat di film maupun drama Korea itu ternyata gak seindah gambaran aslinya. Deadline dan grammar Bahasa Inggris adalah musuh terbesar saya.
sumber: latimes.com
Waktu itu, saya masuk di tengah-tengah bulan. Saya kira, saya akan menjalani masa orientasi dan pengenalan etos kerja selama sisa bulan itu dan baru terjun ke redaksi di bulan berikutnya. Tapi ternyata tidak! Saya langsung diberikan sejumlah tugas artikel dan diberikan deadline sebelum akhir bulan--yang artinya kurang dari 3 minggu. Asli, itu yang namanya tengkuk langsung nyeri menjalar sampai ke ubun-ubun. Iya, se-stres itu! Salah satu teman penulis yang duduk di samping saya waktu itu bilang begini, "Di sini emang gitu. Semuanya learning by doing. Kamu kalo bingung atau butuh bantuan, kabarin aja ya." Beruntung saya punya teman yang mau membimbing meski tidak secara penuh.

Namun, pekerjaan ini tidak bertahan lama...saya cuma bertahan selama dua bulan saja. "Lho, kenapa resign? Lo kan pengen banget kerja sebagai penulis," cetus salah satu sahabatku. Memang, menjadi penulis di suatu majalah itu impainku. Tetapi percayalah, semua yang kita dambakan tidak selalu berjalan sesuai yang kita inginkan. Ternyata menjadi penulis itu berat, apalagi kalau topik dan cara penulisannya tidak begitu kita kuasai. Saya memang senang membaca dan mengamati artikel fashion. Tetapi bukan fashion yang high-end atau kelas atas. Pernah saya menghadiri salah satu acara peluncuran koleksi makeup mahal di salah satu hotel bintang lima. Duh, asli sih, minder banget saya datang ke acara itu karena semua yang datang itu para influencer dengan dandanan mantap. Sedangkan saya waktu itu datang dengan dandanan seadanya dengan baju terusan sederhana. Sempat saya diremehkan oleh pandangan salah seorang ibu kaya raya yang menatap saya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
sumber: Pinterest
Selain menulis tentang makeup, saya juga menulis tentang table setting para perusahaan mebel kelas atas. Ini sesuatu yang menarik, sih, karena saya belum pernah menulis mengenai table setting. Kalau menurut Editor In Chief dan teman penulis lainnya, gaya penulisan untuk table setting itu bersifat deskriptif dan sedetail mungkin. Dan lagi-lagi, sayangnya, saya kehambat di grammar dan kosa-kata Bahasa Inggris saya. Sepulang wawancara untuk tulisan table setting pertama saya ini, saya langsung nangis ke pelukan mama dan papa. Iya, seberat itu beban pikiran saya. Udah gak kuat karena hampir setiap hari selama mengerjakan tulisan, saya menangis di toilet kantor. Bukannya gak kuat sama deadline, tapi gak kuat menyelesaikan tulisan akibat kehambat grammar dan kosa-kata.

Akhirnya saya memutuskan resign. Sebenarnya HR dan finance manager saya sempat menahan karena penilaian Editor In Chief terhadap kinerja saya masih bagus. Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa menjalani pekerjaan yang sesuai passion tidak lantas membuat kita nyaman melakukannya. Butuh kemampuan dan kesanggupan diri yang tentu dapat mendukung pekerjaan tersebut. Jadi, bagi kamu yang masih fresh graduate, saran saya jangan terlalu realistis dan muluk-muluk dalam mencari pekerjaan. Jalanin aja apa yang menurutmu sanggup dilakukan dan sesuai dengan kemampuanmu. Sebab, pekerjaan yang sesuai harapanmu akan muncul ketika dirimu sudah semakin mantap dan tangguh untuk menghadapi segala macam rintangan. Kuncinya, jangan terlalu realistis, yang penting cari kerjaan yang bisa bikin kamu nyaman dan bikin hepi.

Semoga bisa menginspirasi dan good luck!

Comments

Popular Posts