Sepi yang Membiru (Bagian Kedua)


Surya berusaha membujuk istrinya untuk mau makan. Ia pun akhirnya mengalah dan membeli makanan dari kedai mie yang menyimpan sejuta rasa dalam kenangan istrinya. Di sisi lain, hati Beng sedang kacau. Nasihat dari Bang Deni dengan serta-merta ditolaknya dan pertemuan dengan Pak Well kembali membuka luka lama Beng yang telah memborok. Secara ajaib, Surya dipertemukan oleh Beng melalui orderannya di aplikasi ojek online.

***

Ting!

Suara ponsel Surya berbunyi. Ia pun segera ke luar untuk mengambil pesanannya. Saat itu sudah pukul dua siang.

“Siang, Pak. Ini pesanannya, dua bungkus mie goreng dan seporsi ayam kecap, ya. Totalnya seratus ribu ya, Pak. Ini bonnya,” jelas Beng kepada Surya.

“Ya, terima kasih ya, Nak. Ini uangnya,” jawab Surya seraya memberikan sejumlah uang yang disebutkan tadi.

Sesudah menerima uang dari Surya, Beng pun mengucapkan terima kasih dan hendak pergi dengan motor bebeknya. Sebelum Beng mengenakan helmnya, Surya menggenggam lengannya.

“Hm, nak Beng. Maaf, tapi bolehkah saya meminta tolong sekali lagi?” pinta Surya, masih menggenggam lengan Beng. Seketika Beng langsung berbalik dan menanyakan apa yang diperlukan lagi oleh Surya.

“Kamu…apakah ada kerjaan setelah ini?”

“He? Kenapa ya, Pak?” tanya Beng bingung.

“Mungkin ini memang sudah lewat jamnya, tapi mau gak kamu menemani saya dan istri saya makan makanan ini bersama-sama?”

Beng masih bingung. Ia bingung kenapa mesti dia yang menemani mereka makan siang? Namun, seperti mengetahui kebingungan Beng, Surya pun kembali menjelaskan maksudnya.

“Kami kesepian. Setiap hari kami selalu melalui sarapan, makan siang, dan malam hanya berdua saja. Kelima anak kami sudah tidak pernah mengunjungi kami sekali pun semenjak mereka membangun rumah tangga sendiri dan memiliki anak. Istri saya sangat merindukan kehadiran anak-anaknya. Ia merindukan suasana meja makan yang hangat seperti dulu dengan tawa-canda dari kelima anak kami. Ia juga merindukan rasa khas dari kedai Mie Toko Sebelah yang menjadi favorit anak-anak kami. Jadi, saya sangat ingin menghiburnya. Mungkin nak Beng bisa menjadi penghibur bagi kami berdua?”
Ilustrasi cerita (image source: acadienouvelle.com)
Beng bukan tipe orang yang mudah menangis. Selain karena dia adalah laki-laki, hati Beng seperti sudah ditutupi oleh dinding beku yang tidak bisa ditembus oleh kehangatan kasih sayang siapa pun. Tapi tidak untuk kali ini. Dinding beku yang menutupi hatinya selama ini seakan mencair setelah mendengar kisah Surya. Nasib bapak ini tidak jauh berbeda denganku, gumam Beng dalam hati. Tetes air mata mulai membasahi pipi kecokelatan milik Beng.

Melihat Beng menangis, Surya terlihat panik dan bingung. “Kamu kenapa, nak?”

“Tidak, pak. Saya hanya…saya hanya melihat cerminan diri saya dalam cerita bapak tadi.”

“Jadi…kamu mau menemani kami makan siang dan berbagi ceritamu itu?” tanya Surya sekali lagi. Beng hanya mengangguk dan menaruh kembali helm yang hendak dipakainya tadi.

Beng akhirnya menghabiskan siang hari itu bersama Surya dan istrinya. Menghabiskan makanan yang telah dipesannya bersama-sama dan saling berbagi kisah kesepian mereka selama ini.

***

Beng, seorang anak laki-laki tunggal dari sepasang suami istri yang memiliki pekerjaan dari subuh hingga larut malam. Ia tumbuh dan besar berkat kasih sayang dari neneknya yang merawatnya sejak kecil. Saat neneknya meninggal, Beng dirawat oleh seorang pengasuh anak yang tidak beda jauh dengan neneknya. Dulu, Beng tidak tahu apa-apa mengenai rasa kesepian. Kamarnya yang cukup luas selalu dipenuhi oleh mainan-mainan kekinian. Kesehariannya pun juga selalu ditemani oleh pengasuhnya. Beng kecil tidak pernah mengeluh kalau mama dan papanya tidak pernah punya waktu bermain saat hari kerja. Karena Beng punya waktu seharian saat mama dan papanya libur kerja di hari Sabtu dan Minggu. Dua hari itu selalu dilewati Beng bersama kedua orang tuanya dengan mengunjungi pusat perbelanjaan atau hanya sekedar bermain video game bersama di ruang keluarga. Masa kecil Beng amat bahagia.

Tapi semua itu berubah drastis semenjak kedua orang tuanya dipromosikan pada jabatan yang lebih tinggi. Mereka jadi semakin sibuk. Rumahnya hanya menjadi tempat singgah sesaat untuk tidur. Bahkan mereka kembali ke rumah tidak untuk istirahat. Kadang hanya untuk mengambil berkas yang ketinggalan, lalu kembali lagi ke kantor. Subuh saat Beng masih tidur pulas, kedua orang tuanya pergi ke kantor. Saat mereka pulang, Beng juga sudah masuk ke dalam alam mimpi. Ditambah lagi, kesibukan mereka tidak hanya di hari kerja saja, tapi juga menyita waktu kebersamaannya dengan Beng di hari Sabtu dan Minggu. Hal itu sudah terjadi sejak Beng masih duduk di bangku SMA.

Maka, sejak lulus SMA, Beng memutuskan untuk ngekos sendiri. Ia membuat alasan agar bisa mandiri dan tidak bergantung dengan orang tuanya lagi. Tapi itu hanya sekedar topeng yang menutupi luka hati Beng yang sudah memborok. Beng sudah tak tahan melihat rumahnya yang cukup luas tapi selalu sepi. Ia sudah tidak tahan dengan dinding dan lantai rumahnya yang terasa sangat dingin baginya.

Beruntung, Beng bertemu dengan Bang Deni di kosannya. Bang Deni sudah seperti kakaknya sendiri. Bang Deni selalu memberikan wejangan hidup bagi Beng hingga ia berhasil menjadi seorang sarjana, walaupun ia hampir dikeluarkan dari kampusnya karena sering ambil cuti kuliah dan banyak mata kuliah yang belum lulus. Beng telah bertemu dengan orang yang tepat, Bang Deni dan Surya. Bersama Bang Deni, jalan hidup Beng tidak 'tersesat' dan pertemuan dengan Surya telah menyembuhkan boroknya perlahan-lahan.

Comments

Popular Posts