Liontin Kayu

Pagi ini, Ley bangun dengan perasaan gembira dan penuh semangat. Ley senang karena ia akan kembali masuk setelah libur panjang. Sesudah mandi, ia memakai seragam putih-merah lengkap dengan dasinya. Kemudian, Mama masuk ke kamar Ley.
“Sudah siap, Sayang?” tanya Mama sambil menyisir rambut panjang Ley.
Ley hanya mengangguk sambil tersenyum ke arah Mama. Seusai Mama menyisir rambut Ley, Mama mengajak Ley untuk sarapan bersama Papa. Saat Ley masuk ke ruang makan, Papa sudah duduk manis dengan sepiring nasi lengkap dengan ayam dan telur di hadapannya.
“Pagi, Sayang. Sudah siap memulai hari ini?” tanya Papa dengan tersenyum.
“Sudah dong, Pa. Ley sudah tidak sabar untuk belajar kembali,” seru Ley sambil menyuap nasi yang sudah disiapkan Mama.
Selesai sarapan, Ley pamit kepada Mama kemudian pergi ke sekolah bersama Papa. Seperti biasa, Ley pergi ke sekolah bersama Papa dengan menaiki bus umum. Walau bus yang dinaiki Ley sudah penuh, ia tetap senang dan bersemangat untuk kembali bersekolah.
Sesampainya di sekolah, Papa mencium pipi Ley sambil berkata,”Selamat belajar, Sayang. Nanti siang Papa jemput kamu ya. Tunggu saja sama pak penjaga sekolah kalau teman-temanmu sudah pulang. Oke?”
Siap, Pa!” seru Ley sambil membuat gerakan seperti menghormat bendera.
Ley masuk ke kelas 3A. Ia memilih duduk di bangku paling depan. Teman dekat Ley tidak sekelas dengannya, sehingga ia harus duduk sendiri di bangku terdepan itu. Tak lama kemudian, Ibu Guru masuk ke kelas.
“Selamat pagi, Anak-anak. Sebelum kita memulai kelas, Ibu ingin mengenalkan seorang murid baru kepada kalian. Mulai hari ini dia akan belajar di kelas ini bersama kalian. Silahkan masuk, Nak” ajak Ibu Guru kepada murid baru yang masih berdiri di depan kelas.
“Nah, ayo perkenalkan dirimu ke teman-teman barumu.”
“Hai semuanya. Nama saya Lea,” ucapnya sambil tersenyum ramah.
“Baik, Lea. Sekarang kamu boleh duduk di sana,” kata Ibu Guru sambil menunjuk kursi kosong di sebelah Ley. Lea menarik kursi di sebelah Ley seraya tersenyum kepadanya. Ley yang melihatnya, membalas senyum Lea dengan ramah.
Semenjak hari itu, Lea dan Ley menjadi akrab. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, belajar serta bermain bersama. Kadang Lea bermain ke rumah Ley, kadang Ley yang bermain ke rumah Lea.
Beberapa bulan kemudian, sekolah Ley akan mengadakan pentas drama musikal. Ley dan Lea ditunjuk sebagai pemeran utama dalam drama itu oleh Ibu Guru. Mereka akan menjadi sahabat yang selalu ada di setiap waktu. Sepulangnya Ley dari sekolah, ia segera menceritakan tentang perannya di drama musikal ini kepada Mama dan Papa.
“Mama dan Papa harus datang. Harus duduk paling depan dan nonton Ley bermain drama. Oke? Janji ya,” pinta Ley kepada Mama dan Papa.
“Iya, Sayang. Papa sama Mama akan duduk paling depan dan menonton Ley bermain drama,” janji Papa sambil mencubit pipi Ley.
Suatu sore, Ley sedang menunggu dijemput Papa. Ia menunggu bersama Lea yang juga sedang menunggu Ayahnya menjemput. Lalu, sebuah mobil sedan putih berhenti tidak jauh dari Ley dan Lea. Ley sudah yakin itu pasti Ayah Lea. Pada saat itu juga, Papa datang dengan setengah berlari ke arah Ley. Setelah saling menyapa, Ayah Lea memberikan sebuah kotak kecil kepada Lea. Kemudian, Lea membukanya dan ia kaget melihat isinya. Ayahnya membelikan sebuah kalung berliontin namanya.
“Untuk hadiah ulang tahunmu kemarin,” jelas Ayah Lea.
Lea mengucapkan terima kasih sambil memeluk Ayahnya. Di sisi lain, Ley melihat kejadiaan itu dengan mata yang sedikit iri. Papa bisa melihatnya. Maka, ketika Lea dan Ayahnya pamit pulang, Papa bertanya kepada Ley,”Kamu juga ingin kalung liontin itu?” Ley tidak menjawab pertanyaan itu, tapi ia menarik tangan Papa untuk segera pulang. Papa semakin yakin bahwa Ley benar-benar ingin kalung liontin juga.
Beberapa minggu sebelum pentas drama musikal, Papa selalu sibuk. Ia tidak bisa menjemput Ley di sekolah dan terkadang pulang ketika Ley sudah tidur. Hingga sehari sebelum pementasan, Papa pulang saat Ley sudah tidur. Keesokan paginya, Ley menghampiri Papa yang sudah siap untuk berangkat kerja.
“Pa, ingat lho! Hari ini Ley pentas. Jam 7 malam. Papa harus nonton Ley sama Mama,” seru Ley sedikit merengek.
“Iya, Sayang. Papa janji,” ucapnya sambil memegang pipi Ley.
Namun pada kenyataannya, Papa tidak kunjung datang hingga pementasan drama usai. Di ruang ganti, Ley menangis di pelukan Mama.
“Ley benci Papa. Papa ‘kan sudah janji mau nonton Ley. Ley benci Papa!” serunya sambil memukul pelan badan Mama. Lea yang berdiri di sebelahnya memeluk Ley dan memberinya semangat, berharap Ley kembali ceria. Tapi, tangisan Ley semakin keras.
“Mungkin Papa sibuk, Sayang. Atau mungkin Papa sedang menyiapkan sesuatu untukmu,” ujar Mama sambil menghapus air mata Ley.
Walau tangis Ley sudah hilang, senyum di bibirnya belum muncul. Hingga Ley dan Mama sampai di rumah, ia masih cemberut. Ley segera berganti pakaian dan bersiap untuk tidur. Tiba-tiba, pintu kamar Ley diketuk. Kepala Papa terjulur untuk melihat keadaan Ley.
“Ley? Kamu sudah tidur, Sayang?” tanya Papa. Ley yang masih kesal sama Papa tidak menjawab pertanyaan itu. Merasa pertanyaan Papa tidak dijawab, ia memutuskan untuk masuk ke kamar Ley. Papa melihat Ley cemberut dengan tangan dilipat di dada.
“Ley, Sayang. Maafin Papa ya karena mengingkari janji Papa. Papa tidak bisa nonton Ley karena Papa membuat ini untuk Ley,” ucap Papa sambil memberikan kotak kecil kayu untuk Ley. Wajah cemberut Ley berubah menjadi penasaran. Segera Ley membuka kotak kayu itu dan melihat kalung liontin berinisial namanya yang juga terbuat kayu. Seketika Ley terkejut melihatnya.
“Maaf ya, Papa hanya sanggup buat huruf L. Membuat ukiran nama lengkap kamu pasti butuh waktu lama. Kamu, mau maafin Papa kan, Sayang?” tanya Papa menyesal.
Ley tidak sanggup menahan air mata. Ia mengangguk dan memeluk Papa. Ternyata Papa tidak jadi menontonnya bermain drama karena membuat liontin kayu ini, karena Ley sangat menginginkan kalung liontin seperti milik Lea. Ley tidak jadi benci Papa.
“Ley sayang Papa.” Ucap Ley di sela tangisnya.


***Ps: Cerpen ini sempat saya kirim ke redaksi Kompas Anak. Yaa…hanya coba-coba berhadiah. Tapi sayangnya, cerpen saya ini tidak dimuat di Kompas Anak. Saya yakin bukan karena jelek, tapi karena belum saatnya saja. Cerpen ini terinspirasi dari kisah sahabat saya, dengan banyak modifikasi tentunya. Semoga kalian senang membaca cerpen ini :)

Comments

Popular Posts