Covid-19: Ketika Stigma Sosial Lebih Menakutkan Ketimbang Penyakitnya

Di tengah wabah Covid-19 ini, ada satu hal yang tidak bisa dihindari: stigma sosial terhadap para orang dalam pengawasan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), atau orang-orang yang pernah berinteraksi dengan OPD dan PDP tersebut. Sepertinya, stigma sosial ini selalu menempel pada suatu penyakit. Apalagi jika penyakit tersebut mudah menyebar seperti Covid-19 ini.
Sumber: kawalcovid19.id
Melalui tulisan ini, aku ingin sedikit sharing cerita tentang stigma sosial yang terbentuk di masyarakat, terutama bagi mereka yang bekerja di rumah sakit. Cerita ini datang dari teman kantorku--kami memang karyawan di rumah sakit, tapi bukan sebagai garda terdepan dalam "memerangi" Covid-19.

Beberapa hari lalu, temanku ini pulang kampung. Rencana pulang kampungnya memang sudah direncakan jauh-jauh hari sebelum wabah ini terjadi. Niatnya, temanku ini pulang untuk menengok orang tuanya dan jalan-jalan. Namun, karena wabah ini, niat untuk jalan-jalan pun berubah dengan liburan #dirumahaja.

Sudah jatuh tertimpa tangga, mungkin peribahasa itu tepat menggambarkan nasib temanku saat itu. Gak bisa jalan-jalan, malah kena stigma sosial dari warga sekitarnya. Karena bekerja di rumah sakit, ditambah dari Jakarta yang menjadi daerah dengan kasus Covid-19 terbanyak, temanku akhirnya diminta untuk memeriksakan kesehatannya. Sebenarnya maksudnya memang baik, tetapi kalau cara penyampaiannya dengan nada dan tatapan sinis, rasanya jadi seperti sedang dihakimi.

Beberapa kali aku juga pernah membaca berita stigma sosial yang terbentuk karena wabah Covid-19 ini. Bahkan ada dokter dan perawat dari salah satu rumah sakit rujukan Covid-19 yang diusir dari kos-kosannya (lihat: https://www.liputan6.com/news/read/4210702/dokter-dan-perawat-rs-persahabatan-diusir-dari-kos-di-tengah-pandemi-covid-19). Membacanya saja sudah merasa sedih sekaligus kecewa dengan perlakuan masyarakat yang menurutku tidak adil ini. Sudah pasti alasan kuat mereka diusir karena sang pemilik kos-kosan takut terinfeksi Covid-19.

Dua peristiwa ini mengingatkanku sama film Train to Busan--kebetulan aku abis menontonnya lagi. Dan setelah ditonton ulang, ternyata film ini sangat relevan dengan kejadian saat ini. Bedanya hanya di subjek permasalahannya saja: kalau di Train to Busan masalahnya berupa zombie, kalau sekarang berupa virus tak terlihat yang bernama Covid-19. Lalu, di film Train to Busan juga digambarkan bahwa sifat dasar manusia itu memang egois saat dihadapkan pada situasi hidup dan mati. Secara naluri, mereka akan berusaha semaksimal mungkin untuk bertahan hidup, meski harus bersikap egois dan tidak mementingkan orang lain. Sama kan kayak situasi sekarang? Saat Covid-19 melanda Indonesia, masker bedah menjadi barang langka dan sangat mahal--padahal biasanya dijual sangat murah bahkan diberikan cuma-cuma saat naik ojek online. Itu semua terjadi karena apa? Karena ada oknum yang memendam stok masker bedah dan memanfaatkan situasi wabah Covid-19 ini untuk meraup untung yang banyak. Atau saat ada wacana kota bakal di lockdown, masyarakat berbondong-bondong menyerbu supermarket dan memborong bahan pangan. Akibatnya, beberapa bahan pangan di pasar mesti dibatasi pembelian agar tidak menimbulkan kelangkaan dan kelonjakan harga.

Cuplikan adegan "Train to Busan"
Sama halnya dengan stigma sosial. Berkaca dari film Train to Busan, stigma sosial ternyata hal yang lumrah terjadi bagi seorang manusia saat dihadapkan pada situasi mencekam. Hal ini terlihat saat adegan saat pemeran utama (Gong Yoo) serta beberapa penumpang lainnya berhasil melewati lima gerbong kereta berisi zombie dan berniat masuk ke gerbong 15 untuk berkumpul dengan penumpang selamat lainnya. Namun, apa yang terjadi? Salah satu penumpang--yang sepertinya seorang pejabat atau orang penting gitu--menolak kehadiran mereka. Alasannya? Kurang lebih sama seperti pemilik kos-kosan yang mengusir dokter dan perawat dari rumah sakit rujukan Covid-19 itu, yaitu ia ragu apakah mereka masih benar-benar sehat dan tidak terinfeksi zombie. Ia takut, kehadiran mereka justru dapat membahayakan orang-orang yang sudah selamat di gerbong 15 itu.

Cuplikan adegan "Train to Busan"
Stigma sosial memang tidak bisa dihindari dari hal yang mengancam hidup orang lain. Berangkat dari artikel ini, https://kawalcovid19.id/content/698/mencegah-dan-menangani-stigma-sosial-seputar-covid-19 , aku ingin mengajak kamu untuk membangun dan menyebarkan energi positif kepada semua orang, terutama para ODP, PDP, dan petugas medis maupun karyawan rumah sakit lainnya. Ingat, stigma sosial ini bisa membuat orang jadi takut memeriksakan kesehatannya, karena kalau hasilnya benar positif, ia takut akan dikucilkan di dalam masyarakat. Jadi, kalau pernah mendengar berita ada pasien kabur saat dikarantina, yaa jangan disalahkan juga. Bisa jadi itu akibat dari stigma sosial yang akan terbentuk terhadap dirinya saat sudah kembali ke rumah.
Sumber: kawalcovid19.id
Sumber: kawalcovid19.id
Ingat, yang perlu dilakukan adalah menjauhi penyakitnya, bukan men-judge orangnya. Cukup berperilaku hidup bersih dan sehat, dengan rajin mencuci tangan, mengonsumsi makanan bergizi, rajin berolahraga, dan yang terpenting berpikir positif. Mari, sebarkan semangat positif bagi para ODP, PDP, dan terutama para petugas medis yang "berperang" di garda terdepan.
Sumber: kawalcovid19.id
Semoga wabah ini segera berlalu.

Comments

Popular Posts