Sepi yang Membiru (Bagian Pertama)
Hujan. Hari ini pun hujan lagi. Dan lagi-lagi, aku pun
hanya berdua dengan istri tersayangku yang selalu bergeming di kursi goyang
kesayangannya. Ya…beginilah keseharianku. Pagi-pagi bangun, menjemur diriku di
bawah sinar matahari pagi—atau kalau hujan seperti pagi ini, aku hanya berdiri
di dekat jendela, menatap jauh ke luar dengan bayangan rintik air hujan—lalu di
siang hari aku kembali tidur, mandi sore, menonton berita, lalu tidur lagi.
Seperti itu setiap kali dalam waktu 365 hari yang sudah kulalui berpuluh-puluh
kali berdua dengan istriku saja. Jangan tanyakan apakah kami punya anak atau
tidak. Tentu saja kami punya karena itu amanah dari orang tua kami. Bahkan kami
punya lima orang, laki-laki dan perempuan. Tapi tak ada satu pun dari mereka
yang peduli lagi dengan kami.
***
“Misi, Mbak. Numpang nanya. Kalau alamat ini letaknya
di mana ya?” tanya seorang laki-laki berjaket hijau sambil menunjukkan smartphone dalam genggamannya.
“Oh! Mas lurus aja nih. Trus, mentok belok kiri deh
tuh. Nanti ketemu pertigaan belok kanan deh. Nah, udah deh sampe di komplek perumahannye,” ujar perempuan berdaster merah muda
dengan logat Betawi khasnya.
Lelaki itu pun melaju dengan motor bebek warna merah
kesayangannya usai mengucapkan terima kasih ke perempuan tersebut. Sesampainya
di lokasi yang dimaksud, ia turun dari motor dan membuka helmnya. Beberapa
detik kemudian, keluarlah seorang anak berkuncir dua dengan seragam
putih-merahnya. Dia tersenyum lebar sambil memberikan sejumlah uang ke
laki-laki tersebut. Sebagai gantinya, laki-laki tersebut memberikan sekotak
pizza ke anak perempuan itu.
***
“Beng, udah berapa banyak orderan yang udah kau
selesaikan, hah?” tanya seorang laki-laki yang sedang menyesap kopi hitamnya
yang panas.
“Baru empat nih, Bang. Kau lagi neduh nih, Bang? Apa
sudah kelar narik nih?” Ben bertanya sambil memesan kopi hitam ke pemilik
warung yang mereka singgahi.
Beng dan Bang Deni adalah supir ojek online. Mereka bersahabat semenjak
menjadi supir ojek online ini dan tak
disangka pula, mereka tinggal dalam satu rumah kos yang sama. Hari itu sudah
siang. Nyaris pukul satu. Tapi baik Beng maupun Bang Dani sama-sama belum
menyantap makan siangnya. Mereka sangat getol
mencari orderan. Dari timur ke barat, selatan ke utara pun mereka lakoni
untuk menyelesaikan sebanyak mungkin orderan yang masuk.
“Hujan deras nih dari tadi. Kau gak istirahat? Kulihat
kau menerjang hujan badai ini tanpa jas hujan, hah?”
“Haha, udah biasa keujanan, Bang! Lagian tadi cuma nganterin makanan ke Jalan Delman. Deket
kok!”
“Ckck. Anak muda zaman sekarang nih emang keras kepala
kalau urusan uang ya. Jangan capek-capek lah kau! Aku kasian sama mamak-bapak
kau,” ujar Bang Dani tegas. Tapi seketika itu juga, Bang Dani menyesal sudah
menasihati si Beng dan menyebut-nyebut orang tuanya. “Duh! Salah ngomong lagi. Pasti Beng bakal marah nih!” ujarnya
dalam hati. Dan tebakan Bang Dani benar. Saat itu juga raut Beng berubah.
Senyum dan tawa yang tadi menghiasi wajahnya pun sirna digantikan oleh guratan
emosi. Tanpa berkata-kata, Beng pergi dari hadapan Bang Dani. Membawa jaket
hijaunya dan menerjang hujan badai bersama motor bebek warna merah
kesayangannya.
***
“Ma, hari ini kamu mau makan apa?” tanya Surya kepada
istrinya yang masih asyik dengan kursi goyangnya sedari pagi.
Ia masih bergeming. Tidak menoleh sekali pun, tetap memandang
kosong pada figura kayu di tangannya. Surya pun geram. Ia mendekati istrinya,
berlutut di hadapannya, memandang wanita paruh baya tersebut dengan penuh kasih
sayang. Tangan Surya yang sudah keriput membelai lembut rambut kelabu istrinya.
Ilustrasi cerita (image source: vemale.com) |
“Ma, sudahlah. Lupakan kesedihan yang selalu meliputi
hari-harimu. Yuk, kita pesan makanan kesukaanmu. Kamu mau apa? Nasi tim Pak
Somat? Atau kamu mau Mie Toko Belakang?” tawar Surya. Mendengar kata ‘Mie Toko
Belakang’, istrinya langsung mengangkat wajahnya. Matanya yang tadinya terlihat
pilu, kini berbinar-binar. Dengan mantap, sang istri mengangguk, mengiyakan
keinginannya untuk makan Mie Toko Belakang. Surya berdiri, dengan sedikit
menghela napas ia bergumam, “Dasar, seleramu masih saja sama dengan mereka.”
Surya berjalan ke teras, mengambil ponsel di saku
bajunya, memasang kaca mata bacanya, lalu membuka aplikasi ojek online. Ia memesan dua bungkus mie
goreng dan seporsi ayam kecap dari Kedai Mie Toko Belakang. Tak lama setelah
memesan, ia ditelepon oleh supir ojek online
untuk mengonfirmasi orderannya.
***
“Pesanannya ini aja ya, Pak? Dua bungkus mie goreng
dan seporsi ayam kecap? Apa ada tambahan? Baik, Pak. Ditunggu ya, Pak. Nanti akan
saya antarkan.”
Beng menutup sambungan telepon dengan pemilik orderan
yang dia terima siang ini. Duh, kenapa
harus dari Kedai Mie Toko Belakang sih, keluhnya dalam hati. Suasana hati
Beng siang itu semakin memburuk. Setelah diceramahi oleh Bang Deni, kini ia
harus menginjakkan kaki kembali ke Kedai Mie Toko Belakang, tempat di mana
sejuta kenangan manis pernah menjadi bagian dalam hidup Beng. Sudah lama sekali
sejak terakhir ia pergi ke sana dengan kedua orang tuanya. Dulu sekali, saat
mereka masih punya waktu luang banyak untuk Beng.
Dengan sedikit memaksakan diri, ia pun melangkahkan
kaki ke dalam Kedai Mie Toko Belakang. Semua
masih sama, pikir Beng dalam hati. Ya, aroma khasnya, dinding kedainya yang
masih berwarna salem, hingga penjaga kasirnya pun sama. Pak Well. Dulu, sewaktu
Beng sering menghabiskan waktu makan siang atau malam di kedai ini, Pak Well
masih langsing dan rambutnya masih hitam. Kini, badannya jadi gemuk dan ada
beberapa rambut putih menghiasi kepalanya.
“Pak, pesan dua bungkus mie goreng sama seporsi ayam
kecap ya. Dibungkus,” ujar Beng cepat.
Pak Well sepertinya tidak menyadari kehadirannya. Karena
ia sibuk menulis pesanan Beng yang kemudian langsung diberikan ke bagian dapur
di belakangnya. Baru lah saat ia memberi tahu jumlah yang mesti dibayarkan, Pak
Well menyadari kehadiran Beng.
“Beng! Apa kabar kamu? Sehat? Ke mana saja selama ini?”
Beng diserbu dengan rentetan pertanyaan dari Pak Well.
Beng hanya menyengir dan menjawab singkat, “Baik, Pak.”
“Gimana kabar mama sama papa?”
Deg! Lagi-lagi pertanyaan tentang mereka. Beng hanya
diam. Wajahnya menunjukkan kekesalan dan enggan untuk berbicara. Sepertinya reaksi
non-verbal dari Beng langsung dapat dipahami oleh Pak Well. Maka, ia hanya
tersenyum dan menepuk pundak Beng.
Ilustrasi cerita (image source: thomasmuliastories.blogspot.com) |
“Lukamu sudah cukup dalam ya, Beng. Gak apa. Semoga waktu
bisa menyembuhkan luka itu dan kamu bisa membuka diri kembali untuk mereka,”
ujar Pak Well lembut.
Comments
Post a Comment