Embusan Angin Nakal
Musim
gugur sudah tiba! Akhirnya aku bisa pergi sesuka hatiku dan menjahili
orang-orang lagi, hehehe. Aku bisa bermain di taman, menerbangkan daun-daun
maple yang telah berubah warna, atau pergi ke halaman rumah seseorang dan
menghancurkan piramida kartu sekelompok anak yang sedang bermain. Kadang, kalau
aku sedang ‘jahat’, aku akan menerbangkan topi seorang nenek yang sedang
bersantai di Jardin des Tuileries. Karena keisengan itu lah, orang-orang
menyebutku Coquin[1].
Tapi, bukan berarti selama musim gugur berlangsung aku selalu berbuat nakal dan
menjahili orang-orang. Mungkin aku hanyalah sebuah angin, udara yang berhembus
di sekeliling manusia. Namun, aku juga pernah kok berbuat sesuatu yang
menurutku keren. Aku pernah menyatukan dua insan yang ternyata saling memendam
rasa satu sama lain. Kejadian itu terjadi tepat setahun yang lalu, masih di
musim gugur.
Paris,
musim gugur setahun yang lalu
“Kyaa! Dasar angin
nakal!” jerit seorang wanita muda sambil memegang rok hitamnya. Hehehe, aku
baru saja meniupkan napasku hingga rok wanita muda itu terbang ke atas.
Kejahilanku hari ini
tidak berhenti sampai di situ. Aku menerbangkan topi seorang nenek hingga sang
kakek berlari tergopoh-gopoh untuk menangkapnya, menerbangkan kertas-kertas
ujian yang dibawa seorang guru, hingga membuat rusak payung bening seorang ibu
yang saat itu sedang berlari menembus hujan. Kini, aku berada di kaki Menara
Eiffel. Aku melirik ke kanan dan ke kiri, mencari mangsaku berikutnya. Ah! Ada.
Pandanganku berhenti pada seorang gadis berambut pirang yang sedang duduk
santai tak jauh dari Menara Eiffel. Matanya fokus pada kertas di hadapannya dan
tangannya sibuk mencoret-coret di atasnya. Aku rasa dia sedang menggambar
Menara Eiffel. Kudekati gadis itu, lalu melirik pada kertas gambar di
hadapannya. Bukan. Bukan Menara Eiffel yang ia gambar, melainkan wajah seorang
lelaki tampan. Sosok yang sama juga tergambar di kertas gambar lain di
sampingnya. Hmm, kurasa dia pacarnya! Karena gadis itu terlihat manis saat
menggambar, kuurungkan niatku untuk mengganggunya. Kuputuskan untuk pergi dari
Menara Eiffel dan beralih ke sudut taman Champ de Mars.
Di sana, banyak orang
yang sedang menghabiskan waktu sore mereka dengan duduk-duduk santai. Ada juga
turis-turis yang sibuk mengabadikan momen bersama salah satu ikon kota Paris
ini. Lalu, pandanganku terpaku pada sekerumunan orang yang mengelilingi seorang
musisi jalanan. Ah, rasanya aku ingin menjahili orang itu. Kudekati kerumunan
itu dan...hei! Bukankah lelaki itu adalah sosok yang ada di kertas gambar gadis
tadi? Saat itu dia sedang memainkan salah satu lagu gubahan komponis klasik
ternama, Für Elise, dengan biolanya. Matanya terpejam dan ketika ia selesai
memainkan lagunya, orang-orang di sekelilingnya bertepuk tangan meriah sambil
meletakkan uang dalam keranjang di hadapannya. Kemudian, lelaki itu merunduk
dan meraba-raba ke dalam keranjang. Astaga, ternyata ia tidak bisa melihat!
Kembali kuurungkan niatku untuk menjahilinya. Namun, sesaat aku hendak pergi
dari tempat itu, gadis yang tadi kulihat di dekat Menara Eiffel datang
menghampirinya.
“Louise! Apa kabar? Bagaimana
penampilanmu hari ini? Maaf, aku baru sempat datang menemuimu. Tadi aku habis,
hmm...mencari inspirasi,” kata gadis itu sembari duduk di sampingnya.
“Tak masalah, Corinne.
Sebenarnya, aku baru saja memainkan lagu kesukaanmu dan ini hasilnya!” katanya
sambil menunjukkan keranjang itu ke Corinne. “Oh ya, mencari inspirasi katamu?
Maksudmu inspirasi untuk lukisanmu?” tanya Louise, penasaran.
“Ya, inspirasi untuk
lukisanku yang akan dipamerkan bulan depan. Hmm, sepertinya aku akan melukis
seseorang yang penting dalam hidupku,” sahutnya dengan rona merah di pipinya.
“Siapa dia, Corinne?
Apakah orang itu...adalah orang yang kau sukai?”
“Hmm...iya.”
“Baiklah kalau begitu.
Semoga berhasil!” seru Louise dengan wajah kecewa. Kemudian, ia pergi sambil
membawa biolanya. Sedangkan Corinne, masih berdiam diri menatap kepergian
Louise.
Semenjak peristiwa sore
itu, aku menyadari bahwa Corinne dan Louise saling memendam perasaan. Mungkin
Louise tidak mengetahui bahwa sosok yang selalu menjadi inspirasi Corinne adalah
dia sendiri. Corinne sendiri mungkin bingung bagaimana cara mengungkapkan
perasaannya karena ia adalah seorang wanita. Kalau begitu, aku akan berusaha
menyatukan mereka berdua.
Keesokan harinya, Corinne
kembali mengunjungi Louise di taman Champ de Mars dengan tumpukan kertas gambar
yang kurasa semuanya menggambarkan sosok Louise. Melihat itu, kutiupkan saja
napasku hingga kertas gambar di tangannya terbang berserakan ke mana-mana.
“Kyaa! Dasar angin
nakal!” jeritnya.
“Apa yang terjadi, Corinne?”
tanya Louise bingung.
“Ah, tidak. Angin nakal
baru saja menerbangkan setumpukan kertas gambar yang kubawa sore ini. Sekarang
semuanya berserakan di mana-mana,” jawabnya sambil memungut kertas gambarnya.
Mendengar itu, Louise segera membantu sambil meraba-raba jalanan di depannya.
“Hei, apakah ini
punyamu?” tanya seorang wanita kepada Louise.
“Apakah itu kertas
gambar, Nyonya?”
“Ya, dan kurasa ini
milikmu. Wajahmu tergambar di kertas gambar ini,” sahutnya sambil memberikan
kertas itu ke Louise. Seketika, Louise terpaku. Ia bahkan tak sempat
mengucapkan terima kasih kepada wanita itu.
“Hei, aku sudah
mengumpulkan semua kertas gambarku, Louise,” seru Corinne riang. Namun, senyum
riang di wajah Corinne berubah menjadi kaku ketika mendapati Louise memegang
salah satu kertas gambar miliknya. Ia segera mengambilnya dari tangan Louise.
“Corinne, apa benar
sosok di semua kertas gambarmu adalah diriku? Apa benar, lelaki yang kau sukai
itu adalah aku?” tanya Louise dengan emosi yang tak tergambarkan. Corinne tak
tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa memeluk Louise dan menangis. Louise pun
juga tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya bisa membalas pelukan Corinne dan
tersenyum bahagia.
“Merci,
Corinne,” bisiknya kemudian.
Cinta kadang tidak
dapat diungkapkan. Bagi mereka yang malu mengungkapkannya, memedam perasaan
akan menjadi pilihannya. Kadang, perlu adanya bantuan dari pihak lain agar
perasaan tersebut dapat terungkapkan, dan kisah Corinne dengan Loiuse telah
menjadi salah satu kisah dari ribuan kisah cinta tersembunyi lainnya. Dua insan
yang saling memendam rasa itu kini telah bersatu karena ulah ‘jahil’ku, hehehe.
Sekarang, Corinne yang selalu menemani Louise bermain biola, Menara Eiffel,
serta taman Champ de Mars telah menjadi saksi bahwa ulah jahilku tidak selalu
membuat orang jengkel.
[1] nakal
**cerita ini telah diterbitkan dalam majalah prodi Ilmu Komunikasi Atma Jaya, Alinea edisi Januari yang lalu. Bisa juga dibaca versi majalahnya di ALINEA edisi Januari 2016**
Comments
Post a Comment